Jakarta - Salah satu janji Ketua Umum PSSI Djohar Arifin adalah menciptakan klub sepakbola tanpa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Saat ini, menjelang bergulirnya kompetisi 2011/2012, harapan tersebut tampaknya belum bisa direalisasikan.
Musim kompetisi yang lalu, sebagian besar peserta kompetisi resmi PSSI,
Indonesian Super League (ISL), masih mengandalkan pendanaan dari APBD. Apalagi untuk kompetisi Divisi Utama dan Divisi I, hampir semuanya masih mengandalkan uang rakyat tersebut. Tercatat hanya Persib Bandung, Arema Malang, Pelita Jaya Purwakarta dan Semen Padang yang sejauh ini terdeteksi menjalani roda kompetisi dengan dana yang mandiri, bukan uang dari negara.
Di sisi lain, wacana klub tanpa APBD ini masih ditanggapi pro dan kontra oleh klub-klub itu sendiri. Klub yang kontra masih berpikir bahwa tanpa dana daerah, mereka akan mati karena sumber pendapatan yang lain belum memadai, misalnya dari sponsor ataupun pemilik modal. Namun, di lain pihak ada optimisme bahwa jika klub mengelola potensinya dengan bagus, maka dapur bisa mengepul dan dapat ikut dalam menjalani roda kompetisi. Beberapa klub yang cukup optimistis mencoba menjadikan Persib, misalnya, sebagai model pendanaan dengan konsorsium; atau Liga Primer Indonesia (LPI) yang digulirkan tanpa APBD.
Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk memutus ketergantungan klub dari APBD. Namun itu bukanlah menyerah sebelum berusaha. Yang penting, membangun sebuah kompetisi di mana klub dapat berjalan tanpa APBD meruakan sebuah tidakan yang membutuhkan keseriusan.
Keputusan Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Permendagri Nomor 22 Tahun 2011 perlu diapresiasi. Walaupun tidak dengan serta merta Permendagri tersebut bisa menghentikan APBD mengalir ke klub sepakbola. Permendagri tersebut belum tuntas tanpa diikuti langkah-langkah kerjasama dari
stakeholder.
Misalnya, sebenarnya Permendagri serupa pernah dikeluarkan tahun 2007, namun kemudian dianulir lagi di tahun 2008 melalui Kongres Sepakbola Nasional di Malang. Walaupun sudah ada peraturan yang melarang,
toh klub masih mengandalkan dana dari APBD. Permendagri saat itu masih memberikan celah uang rakyat mengalir, yaitu melalui KONI.
Nah, sebenarnya bagaimana agar Permendagri Nomor 22 tahun 2011 yang melarang APBD untuk klub sepakbola itu efektif, tidak seperti Permendagri tahun 2007 yang masih lemah.
Perlu kerjasama antara PSSI, Menpora dan Mendagri untuk menafsirkan dan mem-
breakdown kembali peraturan yang akan berlaku per Januari 2012 tersebut. Hal ini sebenarnya belum pernah dilakukan padahal penting untuk meluruskan kembali tujuan adanya kompetisi sepakbola di Indonesia, yaitu untuk mencari prestasi dan mencari keuntungan sesuai dengan amanat Permendagri.
Selanjutnya kerjasama atau forum tersebut harus membahas tetang beberapa hal untuk mencapai tujuan yaitu sepakbola tanpa APBD dan lepas dari kepentingan politik.
Pertama, forum tersebut harus diupayakan menghasilkan aturan tentang konflik kepentingan di sepakbola. Anggaran yang mengucur ke klub dikarenakan manajemen klub dikelola oleh pejabat dan politisi daerah. Ketua umum klub biasanya adalah kepala daerah setempat. Tentunya hal ini menyebabkan klub selalu mendapatkan modal dari APBD melalui beberapa pos anggaran, seperti dari alokasi dana bantuan sosial, dana hibah, ataupun dari penyertaan modal. Selain pengelola klub hanya dilakukan berdasarkan kekerabatan, hal ini juga menjadi sumber konflik kepentingan antara sepakbola dengan politik. Sepakbola selalu menjadi media kampanye untuk memenangkan kontestan politik saat pilkada.
Perlu pemisahan yang tegas antara sepakbola dengan politik. Sebenarnya hal tersebut sudah diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Disebutkan bahwa ketua atau pengurus induk organisasi olahraga dilarang berasal dari pegawai negeri atau pejabat daerah. Namun sekali lagi hal ini perlu ditegaskan oleh PSSI dan Menpora. Selain itu, Permendagri 22 tahun 2011 juga perlu disokong dengan peraturan tentang konflik kepentingan.
Kedua, harus disusun pula reward atau punishment jika klub tidak menggunakan APBD, sehingga klub termotivasi tidak mengambil jatah APBD. Di sisi lain mereka juga takut karena akan ada hukuman yang menimpanya. Misalnya, klub yang masih menggunakan dana APBD tidak boleh ikut serta dalam kompetisi professional yang diselenggarakan PSSI. Di sisi lain, klub yang tidak memakai dana APBD diberi penghargaan, misalnya klub dan sponsornya diberi potongan dalam pembayaran pajak. Jika begitu, sponsor mungkin akan lebih termotivasi untuk membiayai klub sepakbola secara mandiri.
Ketiga, tidak hanya melarang PSSI juga harus memberi solusi yang aplikatif. Artinya format kompetisi yang baru harus disusun dan mudah diterapkan di klub. Klub harus berbadan hukum, mempunyai manajemen yang sehat dan sistem keuangan yang transparan akuntabel. Visi
profit oriented harus diterjemahkan dengan konsep yang mudah dan realistis sehingga klub mempunyai panduan jalan keluar lepas dari APBD. Format kompetisi yang profesional ini harus jadi rujukan dan diterapkan oleh klub-klub di daerah. Kalau perlu, PSSI melalui Badan Liga harus memberikan pelatihan untuk manajemen klub, mulai dari pengelolaan keuangan sampai pada budaya organisasi yang berorientasi prestasi.
Selain itu perlu diluruskan bahwa APBD tidak haram untuk sepakbola akan tetapi haram untuk klub. Lebih baik dana dari APBD digunakan oleh pemerintah untuk membangun infrastruktur sepakbola, bukan membiayai klub sepakbola. Bentuknya dengan membangun infrasturktur yang bagus untuk sepakbola seperti stadion, sarana latihan, dan rencana jangka panjang pembinaan anak usia dini.
Lebih jauh dari itu, tahun 2012 adalah gerbang menuju industri sepakbola profesional, dimana Permendagri tersebut akan berlaku per 1 Januari. Dan juga tahun 2012 dijadikan batas akhir oleh AFC terkait pengelolaan liga profesional di sejumlah negara Asia termasuk Indonesia. Waktu menjadi semakin sempit untuk mempersiapkan sistem klub sepakbola tanpa APBD.
Di lain sisi, PSSI hari Rabu (3/8) kemarin menjadwalkan kompetisi musim baru bergulir 8 Oktober, sementara sistem kompetisi profefsonal dan tanpa APBD belum tersedia. Beberapa pihak mengusulkan agar kompetisi ditunda sampai sistem benar-benar ada dan klub dipastikan mampu berjalan tanpa APBD. Atau opsi kedua adalah sembari mencari sponsor atau ada toleransi untuk kompetisi 2012 di mana separuh kompetisi boleh menggunakan APBD , namun separuhnya setelah itu, menjelang akhir kompetisi, klub harus bebas dari APBD.
Yang jelas, waktu singkat ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Tentunya dengan kerja keras dan kerjasama. Jika untuk membangun konsorsium Persib hanya butuh waktu sekitar tiga bulan, kenapa hal itu tidak dilakukan oleh klub lain untuk keluar dari ketergantungan terhadap APBD? Seperti halnya Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf, pemerintah daerah harus menginisiasi terbentuknya konsorsium yang mandiri. Melalui kewenangannya pejabat daerah dapat menghimbau beberapa pengusaha lokal untuk berpartisipasi membiayai klub.
Atau kita harus mencontoh Jepang dalam menjalankan roda kompetisi J-League. Sama seperti di Indonesia sebenarnya, di sana ada tiga unsur dalam menyokong klub yaitu, pemerintah daerah, perusahaan dan klub itu sendiri. Yang berbeda dengan kita adalah cara kerjanya. Di sana pemerintah daerah memberikan keputusan agar perusahaan-perusahaan yang berproduksi di daerah harus memberi sponsor untuk klub daerah. Untuk perusahaan yang mau memberikan sponsor atau membeli saham, mereka akan dikenakan potongan pajak. Sebaliknya, klub akan berkontribusi terhadap pemasaran produk perusahaan tersebut.
Dari dua pengalaman tersebut dapat diambil pelajaran kunci menuju sepakbola profesional adalah, fungsi pejabat daerah harus diubah dari "pemberi modal" melalui APBD, diganti menjadi "fasilitator" sumber pendanaan klub.
Jadi ketiganya sama-sama untung dan klub tetap menjadi kebanggaan daerah, tetap menjadi milik masyarakat, dan sponsor juga mendapatkan keuntungan dari sisi marketing, serta potongan pajak serta peran pejabat daerah yang tidak hilang walaupun tidak lagi menjadi pengurus klub.
Terakhir, mari menyongsong era baru, ketika klub sepakbola tanpa APBD bukan lagi sekadar impian.